ABUSE OF POWER OLEH DKPP: DAMPAK DAN SOLUSI

 

 

Enny Dwi Cahyani1, Pradita Dwi Ariyani2, Ahmad Kamil Arrayyan3

Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia1

Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia2

Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia3

Email: [email protected]

 

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyalahgunaan kekuasaan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan dampaknya terhadap keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta mengevaluasi efektivitas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam menyelesaikan sengketa yang timbul akibat intervensi DKPP. Penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP telah menjadi isu kritis dalam pengawasan pemilu di Indonesia, di mana keputusan kontroversial yang diambil sering kali tidak berlandaskan pada prinsip hukum dan keadilan, berdampak negatif terhadap independensi dan efektivitas Bawaslu, menciptakan ketidakpastian hukum, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Oleh karena itu, urgensi penelitian ini sangat penting dalam konteks memperbaiki transparansi dan akuntabilitas pemilu di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, di mana data primer diperoleh melalui wawancara dan data sekunder dikumpulkan dari dokumen hukum yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk harmonisasi dan klarifikasi kewenangan antara Bawaslu dan PTUN guna meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa pemilu serta mengurangi ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan peningkatan koordinasi antara Bawaslu dan PTUN diharapkan dapat mengatasi dualisme kewenangan, yang berpotensi meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilu, sehingga kepercayaan publik terhadap pemilu di Indonesia dapat dipulihkan.

 

Kata kunci: Abuse of power; DKPP; Bawaslu; Pengadilan Tata Usaha Negara; sengketa pemilu; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

 

Abstract

This study aims to analyze the abuse of power by the Honorary Council of Election Organizers (DKPP) and its impact on the decisions of the Election Supervisory Agency (Bawaslu), as well as evaluate the effectiveness of the State Administrative Court (PTUN) in resolving disputes arising from DKPP intervention. The abuse of power by the DKPP has become a critical issue in election supervision in Indonesia, where controversial decisions taken are often not based on the principles of law and justice, negatively impact the independence and effectiveness of Bawaslu, create legal uncertainty, and reduce public confidence in the electoral process. Therefore, the urgency of this research is very important in the context of improving election transparency and accountability in Indonesia. This study uses a qualitative approach with a case study method, where primary data is obtained through interviews and secondary data is collected from relevant legal documents. The results of the study show that there is an urgent need for harmonization and clarification of authority between Bawaslu and PTUN in order to increase the effectiveness of resolving election disputes and reduce legal uncertainty. Therefore, the revision of Law Number 7 of 2017 and the improvement of coordination between Bawaslu and PTUN are expected to overcome the dualism of authority, which has the potential to increase transparency and accountability in the election process, so that public trust in elections in Indonesia can be restored.

 

Keywords: Abuse of power; DKPP; Bawaslu; Administrative Court; election disputes; Law Number 7 of 2017

*Correspondence Author: Enny Dwi Cahyani

Email: [email protected]

 


 

PENDAHULUAN

 

Abuse of power oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menjadi isu yang signifikan dalam konteks pengawasan pemilu di Indonesia. DKPP, sebagai lembaga yang bertugas menjaga etika penyelenggara pemilu, sering kali dihadapkan pada tuduhan bahwa beberapa keputusannya tidak didasarkan pada hukum atau prinsip-prinsip keadilan yang jelas, melainkan lebih kepada kepentingan tertentu. Hal ini telah menimbulkan dampak yang serius terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang seharusnya bertindak independen dan menjaga integritas proses pemilu.

Bawaslu merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan pemilu dan penanganan pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu (Amin & Hayatulah, 2024; Kemala, 2021). Keputusan-keputusan Bawaslu sangat penting dalam memastikan bahwa pemilu berlangsung dengan jujur, adil, dan transparan (Anwar, 2019; Maulana et al., 2024). Namun, intervensi dari DKPP dalam bentuk keputusan yang kontroversial sering kali mempengaruhi independensi dan efektivitas Bawaslu. Ketika DKPP menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengeluarkan keputusan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, Bawaslu terpaksa mengikuti keputusan tersebut, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu.

Salah satu contoh penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP adalah ketika lembaga ini memutuskan untuk memberhentikan atau mendiskualifikasi calon tertentu tanpa alasan yang jelas atau bukti yang cukup (Baihaki & Rachman, 2023; Nasution, 2024). Keputusan semacam ini tidak hanya mempengaruhi calon yang bersangkutan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pemilih. Hal ini juga mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pengawas pemilu, termasuk Bawaslu, yang diharapkan dapat menjaga integritas proses pemilu. Selain itu, DKPP juga sering kali mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan keputusan Bawaslu (Michael, 2023; Yasin, 2022). Ketika Bawaslu memutuskan bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh calon tertentu, DKPP dapat memutuskan sebaliknya dan memberhentikan calon tersebut. Keputusan semacam ini menciptakan ketidakpastian hukum dan menimbulkan keraguan tentang kemampuan Bawaslu untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah DKPP benar-benar menjalankan fungsinya untuk menjaga etika penyelenggara pemilu atau justru menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan tertentu.

Dalam menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP, Bawaslu sering kali dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, Bawaslu harus mengikuti keputusan DKPP karena lembaga ini memiliki otoritas untuk mengawasi dan menilai kinerja Bawaslu. Di sisi lain, mengikuti keputusan DKPP yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan dapat merusak integritas dan kredibilitas Bawaslu. Dalam situasi seperti ini, Bawaslu sering kali harus mencari solusi melalui jalur hukum, seperti mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).

Pengadilan TUN memainkan peran penting dalam menyelesaikan sengketa antara DKPP dan Bawaslu (AYU, 2022; Bachri, 2022). Melalui mekanisme peradilan ini, Bawaslu dapat menantang keputusan DKPP yang dianggap tidak adil. Meskipun demikian, proses ini tidak selalu mudah dan memerlukan waktu serta sumber daya yang signifikan. Dalam beberapa kasus, keputusan Pengadilan TUN mungkin malah mendukung keputusan DKPP, yang memperkuat tantangan yang dihadapi oleh Bawaslu.

Studi ini bertujuan untuk menganalisis dampak penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP terhadap keputusan Bawaslu, serta mengevaluasi efektivitas Pengadilan TUN dalam menyelesaikan sengketa yang timbul akibat intervensi DKPP. Penelitian ini juga akan membahas implikasi hukum dan etika dari penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP serta memberikan rekomendasi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengawasan pemilu di Indonesia.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kewenangan DKPP yang koersif adalah untuk menjamin agar Penyelenggara Pemilu mentaati Kode Etik. Namun, dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang menyatakan bahwa keputusan DKPP bersifat final dan mengikat, Bawaslu dihadapkan pada situasi di mana mereka tidak dapat mengoreksi keputusan DKPP yang keliru. Hal ini menciptakan tantangan serius bagi integritas pemilu di Indonesia dan menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut untuk memahami dinamika antara DKPP, Bawaslu, dan sistem peradilan.

 

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif (Cole, 2024). Populasi dalam penelitian ini mencakup semua dokumen hukum, peraturan, dan putusan pengadilan yang relevan terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP. Sampel yang diambil adalah dokumen-dokumen yang mencerminkan kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang signifikan, yang dipilih berdasarkan relevansi dan dampaknya terhadap keputusan Bawaslu. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu memilih kasus-kasus yang dianggap paling representatif. Analisis data dilakukan secara tematik untuk mengidentifikasi pola-pola penyalahgunaan kekuasaan serta dampaknya, dan teknik analisis data melibatkan perbandingan dengan praktik serupa di negara lain untuk mengidentifikasi praktik terbaik yang dapat diterapkan di Indonesia.

Selain itu, penelitian ini juga akan mengeksplorasi peran masyarakat sipil dan media dalam mengawasi dan melaporkan penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP. Partisipasi masyarakat sipil dan media sangat penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilu. Melalui laporan investigatif dan kampanye advokasi, masyarakat sipil dan media dapat membantu mengungkap kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan dan mendorong reformasi dalam sistem pengawasan pemilu.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Abuse of power oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dapat sangat mempengaruhi keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Huda (2022), penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP sering kali menyebabkan ketidakpastian hukum dan disharmoni dalam proses pengawasan pemilu. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh DKPP, yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dapat memaksa Bawaslu untuk mengikuti arah yang tidak sesuai dengan mandat dan integritasnya. Akibatnya, keputusan-keputusan Bawaslu yang seharusnya menjaga netralitas dan keadilan pemilu menjadi terpengaruh oleh intervensi DKPP, sehingga menurunkan kepercayaan publik terhadap Bawaslu dan proses pemilu secara keseluruhan.

Untuk menanggulangi dampak abuse of power oleh DKPP, Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) memainkan peran penting dalam memberikan penyelesaian yang adil dan sesuai hukum. Firdaus (2014) menjelaskan bahwa Peradilan TUN memiliki kewenangan untuk menilai dan membatalkan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh DKPP jika terbukti melanggar hukum atau prinsip keadilan. Proses hukum di Peradilan TUN memberikan ruang bagi Bawaslu dan pihak-pihak lain yang dirugikan untuk mengajukan keberatan dan mendapatkan putusan yang lebih obyektif. Ini tidak hanya memberikan solusi hukum tetapi juga membantu mengembalikan integritas dan kepercayaan terhadap institusi-institusi pengawas pemilu.

Langkah-langkah penyelesaian melalui Peradilan TUN meliputi pengajuan gugatan terhadap keputusan DKPP yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan, verifikasi bukti dan argumen oleh hakim yang independen, serta putusan yang bersifat final dan mengikat. Menurut Robbani (2020), efektivitas penyelesaian melalui Peradilan TUN juga bergantung pada transparansi dan profesionalisme dalam proses peradilan, serta dukungan dari berbagai pemangku kepentingan untuk menghormati dan menjalankan putusan yang dikeluarkan. Dengan demikian, upaya penyelesaian melalui Peradilan TUN dapat menjadi mekanisme yang kuat untuk memastikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan oleh DKPP tidak merusak integritas dan keadilan proses pemilu di Indonesia.

Menurut Huda (2022), dualisme kewenangan antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam penyelesaian sengketa pemilu sering kali menyebabkan ketidakpastian hukum dan disharmoni dalam penanganan sengketa pemilu. Keberadaan dua lembaga yang memiliki wewenang serupa menciptakan tumpang tindih dalam yurisdiksi dan membuat proses penyelesaian sengketa menjadi lebih rumit dan berlarut-larut. Dalam banyak kasus, sengketa yang seharusnya dapat diselesaikan secara cepat dan efisien oleh satu lembaga menjadi berlarut-larut karena adanya dualisme ini. Ketidakpastian ini tidak hanya merugikan pihak-pihak yang bersengketa, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilu.

Bawaslu, yang lahir dari kebutuhan untuk mengatasi krisis ketidakpercayaan publik terhadap pelaksanaan pemilu, memiliki tugas utama untuk menerima, memverifikasi, menengahi, dan memutus sengketa proses pemilu. Dengan mandat ini, Bawaslu diharapkan dapat bertindak cepat dan efisien dalam menyelesaikan sengketa yang muncul selama proses pemilu, serta memastikan bahwa semua keputusan yang diambil berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Namun, kehadiran PTUN dengan kewenangan yang serupa sering kali menyebabkan konflik yurisdiksi. Keputusan yang diambil oleh Bawaslu bisa saja dipertanyakan dan dibawa ke PTUN, yang kemudian dapat memutuskan hal yang berbeda, menciptakan ketidakpastian lebih lanjut.

Dualisme kewenangan ini tidak hanya menyebabkan ketidakefisienan dalam penyelesaian sengketa, tetapi juga ketidakefektifan. Keputusan yang berbeda antara Bawaslu dan PTUN sering kali membuat pihak-pihak yang bersengketa kebingungan dan meragukan keadilan dari proses yang ada. Selain itu, tumpang tindih kewenangan ini juga menimbulkan biaya tambahan dan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa, yang pada akhirnya dapat menghambat proses pemilu secara keseluruhan. Dalam situasi di mana keputusan yang cepat dan tegas sangat dibutuhkan, adanya dua lembaga dengan kewenangan yang saling bersaing menjadi penghalang besar bagi terciptanya pemilu yang adil dan transparan.

Menurut Huda (2022), untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya harmonisasi dan klarifikasi kewenangan antara Bawaslu dan PTUN. Langkah-langkah ini dapat berupa revisi undang-undang yang mengatur peran dan tanggung jawab kedua lembaga tersebut, serta peningkatan koordinasi dan komunikasi antara Bawaslu dan PTUN. Dengan menghilangkan tumpang tindih kewenangan, proses penyelesaian sengketa dapat menjadi lebih efisien dan efektif, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Selain itu, dengan kewenangan yang jelas dan tidak tumpang tindih, baik Bawaslu maupun PTUN dapat menjalankan fungsi mereka dengan lebih optimal, memastikan bahwa setiap sengketa pemilu diselesaikan secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Firdaus (2014) menyimpulkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif harus mampu memulihkan hak-hak warga negara yang terlanggar dan mengembalikan kepercayaan terhadap institusi pemilu. Kepercayaan publik terhadap proses pemilu sangat penting untuk menjaga legitimasi pemerintahan yang terpilih. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa yang cepat, adil, dan transparan menjadi krusial dalam menjaga stabilitas demokrasi. Dalam konteks ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki peran yang sangat penting sebagai lembaga yang bertugas untuk menegakkan keadilan dalam proses pemilu.

Sebagai lembaga yang berwenang memutus sengketa administrasi pemilu, Bawaslu diberi kewenangan untuk memberikan keputusan yang final dan mengikat. Keputusan Bawaslu seharusnya dapat mengakhiri sengketa dengan cepat dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat. Dengan kewenangan ini, Bawaslu diharapkan dapat menyelesaikan sengketa pemilu secara efisien tanpa harus melalui proses peradilan yang panjang dan berbelit-belit. Keputusan yang diambil oleh Bawaslu juga diharapkan mampu mengembalikan hak-hak warga negara yang terlanggar selama proses pemilu, sehingga menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.

Namun, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga memiliki kewenangan untuk memutus sengketa administrasi tertentu menimbulkan dualisme dalam penyelesaian sengketa pemilu. Dualisme ini sering kali menyebabkan ketidakpastian hukum karena adanya dua lembaga yang bisa memutus sengketa yang sama. Keputusan yang diambil oleh Bawaslu bisa saja dipertanyakan dan dibawa ke PTUN, yang kemudian dapat memutuskan hal yang berbeda. Hal ini tidak hanya memperpanjang proses penyelesaian sengketa tetapi juga mengurangi efektivitas dan efisiensi penyelesaian sengketa itu sendiri.

Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh dualisme kewenangan ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Publik bisa menjadi skeptis terhadap kemampuan lembaga-lembaga pemilu untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum. Selain itu, tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan PTUN sering kali membuat pihak-pihak yang bersengketa kebingungan tentang lembaga mana yang harus mereka tuju untuk mendapatkan penyelesaian yang adil. Ketidakjelasan ini bisa mengakibatkan ketidakpuasan yang lebih besar dan potensi konflik yang lebih tinggi selama proses pemilu.

Firdaus (2014) menekankan pentingnya harmonisasi kewenangan antara Bawaslu dan PTUN untuk mengatasi masalah dualisme ini. Harmonisasi ini bisa dilakukan melalui revisi undang-undang yang mengatur peran dan tanggung jawab kedua lembaga tersebut. Selain itu, peningkatan koordinasi dan komunikasi antara Bawaslu dan PTUN juga diperlukan untuk memastikan bahwa setiap sengketa pemilu diselesaikan dengan cara yang paling efisien dan efektif. Dengan adanya harmonisasi dan klarifikasi kewenangan, diharapkan proses penyelesaian sengketa pemilu dapat berjalan lebih lancar, meningkatkan kepercayaan publik, dan menjaga stabilitas demokrasi di Indonesia.

Menurut penelitian Firdaus (2014), standar penyelesaian sengketa pemilu yang ideal harus transparan, akuntabel, dan efisien. Banyak negara termasuk Indonesia telah mengadopsi model penyelesaian sengketa yang melibatkan berbagai lembaga seperti Bawaslu, KPU, dan PTUN. Namun, penelitian menunjukkan bahwa adanya lebih dari satu lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilu dapat menyebabkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, perlu adanya harmonisasi dan penyederhanaan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu.

Dalam studi yang dilakukan oleh Polii (2018), banyak sengketa pemilu diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penelitian ini menunjukkan bahwa Bawaslu di tingkat lokal memiliki peran yang sangat penting dalam menangani berbagai sengketa yang muncul selama proses pemilu. Sebagai lembaga yang berwenang, Bawaslu lokal diharapkan dapat memberikan keputusan yang cepat dan adil untuk menyelesaikan sengketa, sehingga menjaga integritas dan kelancaran proses pemilu. Keputusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu di tingkat lokal sering kali bersifat final dan mengikat, memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Meskipun demikian, penelitian Polii (2018) juga mengungkapkan bahwa masih terdapat celah untuk melakukan koreksi terhadap keputusan Bawaslu melalui mekanisme peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Bawaslu memiliki otoritas yang signifikan, keputusan yang diambilnya masih bisa dipertanyakan dan diajukan ke pengadilan untuk peninjauan lebih lanjut. Mekanisme ini memberikan kesempatan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan Bawaslu untuk mendapatkan keadilan melalui jalur hukum. Namun, adanya celah untuk koreksi ini juga menimbulkan tantangan tersendiri dalam memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh Bawaslu konsisten dan adil.

Tantangan utama yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa di tingkat lokal adalah penerapan keputusan yang konsisten dan adil. Keputusan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilu. Selain itu, adanya kemungkinan untuk mengajukan banding terhadap keputusan Bawaslu melalui mekanisme peradilan juga dapat memperpanjang proses penyelesaian sengketa, yang pada akhirnya dapat menghambat kelancaran dan efisiensi pemilu.

Polii (2018) menekankan bahwa untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa di tingkat lokal, perlu adanya upaya untuk memperkuat kapasitas dan profesionalisme Bawaslu. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan yang berkelanjutan dan peningkatan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa. Selain itu, perlu adanya harmonisasi prosedur dan standar operasional antara Bawaslu di berbagai daerah untuk memastikan bahwa setiap sengketa ditangani dengan cara yang konsisten dan adil.

Menurut penelitian oleh Robbani (2020), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa pemilu yang melibatkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai lembaga peradilan yang beroperasi di bawah naungan Mahkamah Agung, PTUN diberi kewenangan untuk menilai dan memutus sengketa administrasi pemilu yang diajukan oleh para pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU. Keberadaan PTUN sebagai lembaga yang independen dan memiliki otoritas hukum yang tinggi memberikan jaminan bahwa setiap sengketa yang dibawa ke pengadilan ini akan ditangani secara profesional dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Namun, penelitian Robbani (2020) juga menunjukkan bahwa keberadaan PTUN sering kali menyebabkan dualisme dalam penyelesaian sengketa pemilu. Dualisme ini muncul karena Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu, juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa administrasi yang serupa. Ketika keputusan Bawaslu tidak memuaskan salah satu pihak, mereka memiliki opsi untuk membawa kasus tersebut ke PTUN. Hal ini menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan PTUN, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan memperpanjang proses penyelesaian sengketa.

Analisis dari situasi ini menunjukkan bahwa dualisme kewenangan antara Bawaslu dan PTUN tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga dapat menurunkan efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa pemilu. Ketika kedua lembaga ini mengeluarkan keputusan yang bertentangan, hal ini tidak hanya membingungkan pihak-pihak yang bersengketa tetapi juga mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas dan keadilan proses pemilu. Proses penyelesaian sengketa yang panjang dan berlarut-larut juga dapat menghambat jalannya pemilu dan mengganggu stabilitas politik, yang pada akhirnya merugikan seluruh sistem demokrasi di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya harmonisasi dan koordinasi yang lebih baik antara Bawaslu dan PTUN. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah mengklarifikasi dan membatasi kewenangan masing-masing lembaga melalui revisi undang-undang yang mengatur penyelesaian sengketa pemilu. Selain itu, peningkatan kerjasama dan komunikasi antara kedua lembaga ini juga sangat penting untuk memastikan bahwa setiap sengketa pemilu dapat diselesaikan secara efisien, adil, dan transparan. Dengan menghilangkan tumpang tindih kewenangan dan memastikan bahwa setiap sengketa diselesaikan dengan cara yang konsisten, diharapkan proses pemilu di Indonesia dapat berjalan lebih lancar dan mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kaban (2022), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan dasar hukum yang kuat bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Undang-undang ini dirancang untuk memberikan kerangka kerja yang jelas dan terstruktur untuk penanganan berbagai sengketa yang mungkin timbul selama proses pemilu. Dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang ini, Bawaslu dan PTUN diharapkan dapat memastikan bahwa setiap sengketa pemilu ditangani dengan adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga mendukung terciptanya pemilu yang transparan dan kredibel.

Namun, Kaban (2022) menemukan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sering kali menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan PTUN. Dalam beberapa kasus, Bawaslu dan PTUN memiliki yurisdiksi yang sama atau tumpang tindih dalam menyelesaikan sengketa tertentu, yang dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. Misalnya, sengketa yang melibatkan keputusan KPU bisa saja diputuskan oleh Bawaslu, tetapi kemudian dapat diajukan kembali ke PTUN oleh pihak yang tidak puas dengan putusan Bawaslu. Hal ini tidak hanya memperpanjang proses penyelesaian sengketa tetapi juga berpotensi menimbulkan putusan yang bertentangan antara kedua lembaga tersebut.

Analisis lebih lanjut dari penelitian ini menunjukkan bahwa tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan PTUN mengakibatkan inefisiensi dan ketidakefektifan dalam penyelesaian sengketa pemilu. Ketika dua lembaga yang berbeda memiliki kewenangan untuk memutus sengketa yang sama, hal ini dapat menciptakan proses yang berlarut-larut dan menurunkan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat. Selain itu, adanya putusan yang bertentangan dari Bawaslu dan PTUN dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas dan keadilan sistem pemilu, yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah ini, Kaban (2022) menyarankan bahwa perlu adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 untuk menghilangkan dualisme kewenangan antara Bawaslu dan PTUN. Revisi ini dapat mencakup klarifikasi yang lebih tegas mengenai yurisdiksi masing-masing lembaga dalam menyelesaikan sengketa pemilu, serta prosedur yang lebih efisien untuk menangani sengketa yang mungkin timbul. Selain itu, peningkatan koordinasi dan komunikasi antara Bawaslu dan PTUN juga sangat penting untuk memastikan bahwa setiap sengketa pemilu diselesaikan dengan cara yang konsisten dan transparan. Dengan menghilangkan tumpang tindih kewenangan dan memastikan proses penyelesaian sengketa yang lebih efisien, diharapkan bahwa integritas dan kredibilitas pemilu di Indonesia dapat ditingkatkan, sehingga mendukung terciptanya demokrasi yang lebih kuat dan stabil.

Dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa pemilu memiliki implikasi yang luas terhadap stabilitas politik dan kepercayaan publik. Menurut Polii (2018), ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh dualisme ini dapat mengurangi legitimasi hasil pemilu dan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan peserta pemilu dan pemilih (Arfandy & Purwadi, 2022; Hendley, 2022). Harmonisasi kewenangan antara Bawaslu dan PTUN serta penyederhanaan mekanisme penyelesaian sengketa sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurhalimah (2018), beberapa studi kasus menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa pemilu oleh Bawaslu sering kali dihadapkan pada tantangan dalam hal penegakan keputusan (Fadhilah, 2024; Nugraha & Tresnayadi, 2024). Keputusan Bawaslu yang bersifat final dan mengikat tidak selalu dihormati oleh pihak-pihak yang bersengketa, yang sering kali membawa kasus mereka ke PTUN atau bahkan Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Bawaslu memiliki otoritas signifikan, masih terdapat kelemahan dalam penegakan keputusan yang memerlukan perhatian lebih lanjut.

Untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa pemilu, penelitian merekomendasikan beberapa langkah. Menurut Utami et al. (2021), langkah-langkah tersebut antara lain revisi undang-undang untuk menghilangkan dualisme kewenangan, peningkatan kapasitas dan profesionalisme personel Bawaslu dan PTUN, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyelesaian sengketa (Utami, 2019). Selain itu, perlu adanya edukasi yang lebih baik kepada masyarakat mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pemilu untuk meningkatkan partisipasi dan kepercayaan publik.

 

 

KESIMPULAN

 

Penyalahgunaan kekuasaan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berdampak signifikan terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan menghasilkan keputusan yang tidak berdasarkan hukum dan keadilan, memaksa Bawaslu mengikuti arah yang tidak sesuai dengan mandatnya, serta menciptakan ketidakpastian hukum dan menurunnya kepercayaan publik terhadap Bawaslu dan proses pemilu, yang menimbulkan keraguan terhadap kemampuan Bawaslu dalam menjalankan tugasnya. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berperan dalam menilai dan membatalkan keputusan DKPP yang melanggar hukum, memberikan ruang bagi Bawaslu untuk mengajukan keberatan, meskipun proses hukum di PTUN sering memakan waktu dan sumber daya yang besar. Dualisme kewenangan antara Bawaslu dan PTUN menyebabkan ketidakpastian hukum dan disharmoni, serta tumpang tindih yurisdiksi yang memperpanjang penyelesaian sengketa dan menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas pemilu. Oleh karena itu, diperlukan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 untuk menghilangkan dualisme kewenangan, serta harmonisasi kewenangan dan penyederhanaan mekanisme penyelesaian sengketa guna meningkatkan kepercayaan publik dan mendukung integritas serta kredibilitas pemilu, yang pada akhirnya memperkuat demokrasi yang lebih stabil.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Amin, F., & Hayatulah, G. E. (2024). Politik Hukum Pengaturan Kampanye Berbasis Keadilan dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Jurnal Supremasi, 1�14. https://doi.org/10.35457/supremasi.v14i1.3394

Anwar, A. H. (2019). Peran bawaslu dalam penegakan hukum dan keadilan pemilu. Voice Justisia: Jurnal Hukum Dan Keadilan, 3(2), 73�89.

Arfandy, A. B., & Purwadi, H. (2022). Harmonization of Regulations of the General Election Commission to Guarantee Legal Certainty: Overview of the 2020 Regent and Deputy Regent Elections. International Journal of Law and Politics Studies, 4(2), 11�18. https://doi.org/10.32996/ijlps.2022.4.2.2

Ayu, R. W. (2022). Peran Bawaslu Provinsi Lampung Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Pada Pemilihan Walikota Dan Wakil Walikota Bandar Lampung Tahun 2020 Dalam Perspektif Fiqh Siyasah (Studi BAWASLU Provinsi Lampung). Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Bachri, S. (2022). Peran Badan Pengawas Pemilu Dalam Upaya Pencegahan Dan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Di Mahkamah Konstitusi. Jurnal Administrasi Dan Kebijakan Publik, 12(2), 192�216. https://doi.org/10.33558/akp.v12i2.2880

Baihaki, M. R., & Rachman, A. F. R. (2023). Kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Mengadili Penyalahgunaan Wewenang Penyelenggara Pemilu. Majalah Hukum Nasional, 53(1), 131�153. https://doi.org/10.33331/mhn.v53i1.214

Cole, R. (2024). Inter-rater reliability methods in qualitative case study research. Sociological Methods & Research, 53(4), 1944�1975. https://doi.org/10.1177/00491241231156971

Fadhilah, O. S. (2024). The Role Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) Dalam Mengatasi dan Menindak Pelanggaran Pemilihan Umum: Tinjauan Hukum dan Praktik: The Role of the General Election Supervisory Body (BAWASLU) in Overcoming and Taking Action against General Electio. Khuluqiyya: Jurnal Kajian Hukum Dan Studi Islam, 53�64. https://doi.org/10.56593/khuluqiyya.v6i1.124

Hendley, K. (2022). Legal dualism as a framework for analyzing the role of law under authoritarianism. Annual Review of Law and Social Science, 18(1), 211�226. https://doi.org/10.1146/annurev-lawsocsci-050420-104012

Kemala, F. (2021). Implementasi kebijakan pengelolaan barang milik negara studi kasus pada Sekretariat Jenderal Badan Pengawas Pemilihan Umum. https://doi.org/10.35914/ilagaligo.848

Maulana, A., Rahman, A., Firmansyah, M., & Paratama, F. (2024). Peran Bawaslu Dalam Pengawasan Dan Penindakan Pelanggaran Administrasi Pemilu Melalui Media Sosial: Analisis Yuridis Normatif Di Kabupaten Pinrang. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 4(1), 176�189. https://doi.org/10.53363/bureau.v4i1.395

Michael, T. (2023). Kedudukan Lembaga Serta Tindak Lanjut Mengenai Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 3(2), 1746�1764. https://doi.org/10.53363/bureau.v3i2.278

Nasution, F. (2024). Penyalahgunaan Kewenangan KPU Di Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara (Analisis Terhadap Putusan Dewan Penyelenggara Pemilu Nomor 43-Pke/Iii/2023 Dan Nomor 48-Pke/Iii/2023). UIN Ar-Raniry Fakultas Syariah dan Hukum.

Nugraha, S., & Tresnayadi, B. (2024). Penegakan Asas Hukum Terhadap Pelanggaran Sanksi Pemilu oleh Bawaslu di Kabupaten Garut Tinjauan Siyasah Dusturiyah. Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora Dan Politik (JIHHP), 4(6). https://doi.org/10.38035/jihhp.v4i6.2832

Utami, N. S. (2019). Problematika Pola Penyelesaian Persoalan Pemilu (Pelanggaran & Sengketa) Yang Terpisah Pisah. Prosiding Dalam Call For Paper Evaluasi Pemilu Serentak, 1�23.

Yasin, R. (2022). Hak Konstitusional Penegakan Hak Politik Pemilih Dalam Pemilu Serentak 2024 Berdasarkan Konstitusi: KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK. Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau, 4(2), 186�199. https://doi.org/10.55108/jbk.v4i2.194

 

 

� 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).