Laila Sari Masyhur1, Else Afrilia2
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, Indonesia12
Email: [email protected]1,
[email protected]2
Abstrak |
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi dakwah Nabi Muhammad SAW dalam mengelola keberagaman komunitas Madinah, dengan pendekatan sosio-religius. Keberagaman masyarakat Madinah
yang terdiri dari berbagai kelompok, seperti kaum Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, menjadi tantangan dalam membangun persatuan. Dakwah Nabi Muhammad
SAW, melalui Piagam
Madinah, menunjukkan bagaimana
keberagaman dapat dikelola dengan bijaksana, menciptakan kedamaian, dan mengurangi potensi konflik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi pustaka, di mana data dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk jurnal dan dokumen sejarah. Analisis dilakukan secara deskriptif untuk memahami bagaimana dakwah Nabi Muhammad
SAW mengatasi keberagaman
dalam masyarakat Madinah,
dengan menekankan prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan penghormatan terhadap hak setiap kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi dakwah Nabi
Muhammad SAW di Madinah sangat efektif dalam menciptakan masyarakat yang harmonis meskipun ada perbedaan agama, suku, dan etnis. Piagam Madinah yang dihasilkan Nabi Muhammad SAW menegaskan
pentingnya kerjasama antar kelompok dan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Dakwah Nabi Muhammad SAW juga menunjukkan
bagaimana beliau berhasil menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda,
seperti kaum Muhajirin dan Anshar, melalui nilai-nilai ukhuwah Islamiyah. Keberhasilan ini juga tercermin dalam hubungan beliau dengan komunitas Yahudi di Madinah, yang diberikan
kebebasan untuk menjalankan agama mereka dan berkontribusi dalam kehidupan sosial dan politik Madinah. Strategi dakwah
ini mengajarkan pentingnya menciptakan solidaritas sosial dan mengedepankan prinsip saling menghormati di tengah keberagaman. Penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman dakwah dalam menghadapi keberagaman, baik di masa lalu maupun dalam konteks sosial modern. Prinsip-prinsip yang diterapkan
Nabi Muhammad SAW dalam mengelola
keberagaman dapat dijadikan acuan dalam menciptakan masyarakat yang adil, damai, dan harmonis di era kontemporer. Kata kunci: strategi
dakwah, keberagaman, Piagam Madinah, ukhuwah Islamiyah, toleransi |
|
Abstract |
This study aims to
analyze the strategies of Prophet Muhammad SAW in managing the diversity of
the Madinan community through a socio-religious
approach. The diversity of Madinah�s society, consisting of groups such as
the Muhajirun, Ansar, and Jews, posed a challenge
in building unity. The Prophet Muhammad SAW's dakwah,
through the Medina Charter, demonstrates how diversity can be managed wisely,
fostering peace and reducing potential conflicts. This research employs a
qualitative method with a literature study approach, where data are collected
from various sources, including journals and historical documents. The
analysis is descriptive, focusing on how Prophet Muhammad SAW�s dakwah addressed the diversity within the Madinan society by emphasizing principles of justice,
tolerance, and respect for the rights of each group. The findings reveal that
Prophet Muhammad SAW's dakwah strategy in Madinah
was highly effective in creating a harmonious society despite differences in
religion, ethnicity, and tribe. The Medina Charter established by Prophet
Muhammad SAW emphasized the importance of cooperation among groups and the
respect for religious freedom. Prophet Muhammad SAW�s dakwah
also demonstrated how he successfully unified different groups, such as the Muhajirun and Ansar, through the values of ukhuwah Islamiyah. This success is also reflected in his
relationship with the Jewish community in Madinah, which was given the
freedom to practice their religion and contribute to the social and political
life of Madinah. This dakwah strategy teaches the
importance of creating social solidarity and prioritizing mutual respect in
the face of diversity. This research provides valuable insights into
understanding dakwah in the context of diversity,
both historically and in modern social contexts. The principles applied by
Prophet Muhammad SAW in managing diversity can serve as a model for creating
a just, peaceful, and harmonious society in contemporary times. Keywords: dakwah
strategy, diversity, Medina Charter, ukhuwah
Islamiyah, tolerance |
*Correspondence
Author: Laila Sari Masyhur
Email:
[email protected]
PENDAHULUAN
Keberagaman
komunitas di Madinah menunjukkan bahwa dakwah Nabi Muhammad SAW tidak hanya
berfungsi sebagai pengajaran agama, tetapi juga sebagai sarana untuk mengelola
perbedaan (A. Ghani, 2020;
Amin, 2021; Nurfadillah & Novela, 2022). Nabi Muhammad SAW memandang
keberagaman sebagai sebuah tantangan yang harus dikelola dengan strategi yang
tepat. Hal ini terlihat dari Piagam Madinah yang menunjukkan bahwa Nabi
mengelola keberagaman dengan bijaksana, menghargai hak-hak setiap
komunitas.� Dalam menghadapi keberagaman
ini, Nabi tidak hanya mengandalkan aspek religius, tetapi juga sosial-politik
yang mengikat semua pihak. Melalui Piagam Madinah, Nabi menegaskan pentingnya
hidup berdampingan meskipun terdapat perbedaan dalam agama, suku, dan etnis.
Strategi
dakwah Nabi Muhammad SAW dalam mengelola keberagaman komunitas di Madinah
mencerminkan pendekatan yang pragmatis (Awaludin &
Hasim, 2019; Khoerunnisa, 2017; Nurmaidah, 2021). Melalui strategi ini, beliau
berhasil menciptakan keharmonisan di tengah perbedaan yang ada.� Keberagaman masyarakat Madinah bukanlah
penghalang untuk membangun persatuan, tetapi justru menjadi landasan untuk
memperkuat ukhuwah Islamiyah (Achmad Zulfikar
Ramadhanu dan Ibnu Hajar, 2023; Fajriah, 2019; Khashogi, 2012). Pengelolaan keberagaman oleh
Nabi Muhammad SAW mengajarkan pentingnya toleransi dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, dakwah tidak hanya berorientasi pada
aspek spiritual, tetapi juga pada aspek sosial dan politik.
Keberagaman
yang ada di Madinah melibatkan berbagai kelompok, seperti kaum Muhajirin,
Anshar, dan masyarakat Yahudi (Ahyuni, 2019; Ganjar
& Ayundasari, 2021; Husin, 2018). Kelompok-kelompok ini
memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Namun, Nabi Muhammad SAW
berhasil menyatukan mereka dalam ikatan persaudaraan yang kuat melalui konsep
ukhuwah Islamiyah.� Hal ini menunjukkan
bahwa dakwah Nabi Muhammad SAW memiliki dimensi yang lebih luas dari sekadar
ajaran agama, melainkan juga sebagai alat untuk menciptakan keadilan sosial.
Strategi dakwah yang diterapkan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi keberagaman
menjadi model yang relevan hingga saat ini.
Sebagai
seorang pemimpin, Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengajarkan ajaran agama secara
vertikal kepada umatnya, tetapi juga horizontal dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Dalam mengelola keberagaman, beliau memberikan contoh nyata tentang bagaimana
menciptakan harmoni di tengah perbedaan. Dakwah Nabi Muhammad SAW bukan hanya
tentang menyampaikan pesan Allah, tetapi juga membangun sebuah tatanan sosial
yang inklusif dan adil. Melalui pendekatan ini, beliau berhasil mewujudkan
kehidupan yang damai dan penuh kasih sayang di Madinah. Hal ini menjadi
inspirasi bagi umat Islam dalam mengelola keberagaman di berbagai belahan
dunia.
Piagam
Madinah sebagai dokumen penting dalam sejarah Islam menggambarkan betapa
pentingnya pengelolaan keberagaman dalam masyarakat (Jailani, 2016;
Muslim, 2018; Rahim, 2019). Dalam piagam ini, Nabi
Muhammad SAW menekankan prinsip-prinsip dasar yang harus dijunjung oleh seluruh
masyarakat Madinah, terlepas dari latar belakang agama dan suku. Setiap
komunitas di Madinah diberikan hak untuk menjalankan agamanya dan menjalani
hidup sesuai dengan aturan mereka masing-masing. Namun, semua pihak juga
diharuskan untuk hidup berdampingan dalam kedamaian dan saling menghormati. Hal
ini menunjukkan bahwa dakwah Nabi Muhammad SAW mengutamakan kebersamaan di
tengah perbedaan.
Di
Madinah, strategi dakwah Nabi Muhammad SAW juga melibatkan pembentukan
lembaga-lembaga sosial yang berfungsi untuk memperkuat persatuan umat. Melalui
lembaga-lembaga ini, Nabi Muhammad SAW berhasil menciptakan sistem sosial yang
adil dan inklusif. Setiap anggota masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim,
diberikan hak yang sama dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Dengan
demikian, dakwah Nabi Muhammad SAW memiliki dimensi sosial yang sangat kuat.
Prinsip-prinsip ini tetap relevan dalam konteks sosial modern, di mana
keberagaman semakin menjadi tantangan utama dalam kehidupan bersama.
Dalam
menghadapi tantangan sosial, Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya pendidikan
dan pemahaman agama yang mendalam. Beliau meyakini bahwa pemahaman yang baik
terhadap ajaran agama akan memperkuat kesatuan umat dan memperkecil potensi
konflik.� Oleh karena itu, dakwah Nabi
tidak hanya dilakukan melalui ceramah, tetapi juga melalui pengajaran langsung
yang membekali umat dengan pemahaman agama yang komprehensif. Hal ini
mencerminkan pendekatan yang holistik dalam menyampaikan dakwah, yang tidak
hanya berfokus pada aspek ritual, tetapi juga pada pemahaman mendalam mengenai
prinsip-prinsip hidup.
Keberhasilan
strategi dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah dapat dilihat dari kemampuannya
dalam mengelola keberagaman dan menciptakan masyarakat yang harmonis.
Penelitian terdahulu, seperti yang dilakukan oleh Al-Attas (1996) dan Nasr
(2002), menunjukkan bahwa keberagaman di Madinah, yang terdiri dari berbagai
suku dan agama, justru menjadi kekuatan dalam membangun masyarakat yang
kohesif. Al-Attas menekankan pentingnya nilai-nilai spiritual dan moral dalam
mempersatukan umat, sementara Nasr menguraikan strategi diplomasi yang
digunakan Nabi untuk menjembatani perbedaan.
Kebaruan
penelitian ini terletak pada pendekatan analisis strategi dakwah Nabi Muhammad
SAW dalam konteks modern, dengan fokus pada relevansinya bagi tantangan
keberagaman di masyarakat kontemporer. Selain itu, penelitian ini akan
mengeksplorasi bagaimana penerapan nilai-nilai yang diajarkan Nabi dapat
membantu dalam membangun toleransi dan kerja sama antar kelompok yang berbeda.
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis strategi
dakwah Nabi Muhammad SAW dalam mengelola keberagaman, serta untuk memberikan
rekomendasi bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan serupa di era
globalisasi. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
yang lebih mendalam tentang pentingnya nilai-nilai agama dalam menciptakan
masyarakat yang harmonis dan saling menghargai, serta menjadi referensi bagi
studi lebih lanjut dalam bidang dakwah dan keberagaman.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan analisis studi pustaka. Metode ini dipilih untuk
memahami lebih dalam strategi dakwah Nabi Muhammad SAW dalam mengelola
keberagaman komunitas Madinah. Dalam menganalisis strategi dakwah, penulis
mengumpulkan berbagai literatur yang relevan, baik berupa buku, jurnal,
artikel, maupun dokumen sejarah terkait. Proses pengumpulan data dilakukan
dengan cara membaca, mencatat, dan menganalisis sumber-sumber tersebut untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Analisis dilakukan dengan
mengidentifikasi pola-pola dakwah yang diterapkan Nabi Muhammad SAW dalam
menghadapi keberagaman masyarakat Madinah.
Data yang diperoleh dari studi
pustaka ini kemudian dianalisis secara deskriptif dengan pendekatan
sosio-religius. Pendekatan ini memungkinkan penulis untuk memahami strategi
dakwah Nabi Muhammad SAW dari perspektif sosial dan religius secara bersamaan.
Penulis juga menganalisis bagaimana dakwah Nabi Muhammad SAW dapat menciptakan
keberagaman yang harmonis dan mengatasi potensi konflik yang muncul di tengah
masyarakat Madinah. Selain itu, penulis juga mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar
yang dijadikan landasan dalam mengelola keberagaman, serta dampak dari strategi
dakwah tersebut terhadap kehidupan sosial masyarakat Madinah.
Dalam penelitian ini, penulis
juga memperhatikan relevansi strategi dakwah Nabi Muhammad SAW dengan kondisi
sosial saat ini. Keberagaman yang ada di Madinah dapat menjadi pelajaran
berharga bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan sosial yang serupa di zaman
modern. Oleh karena itu, penulis membandingkan strategi dakwah Nabi dengan
praktik dakwah kontemporer yang ada di masyarakat saat ini. Dengan demikian,
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman
dakwah dalam menghadapi keberagaman, baik di masa lalu maupun di masa kini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Strategi dakwah Nabi Muhammad SAW
di Madinah merupakan salah satu model kepemimpinan yang paling relevan dalam
mengelola masyarakat pluralistik. Kota Madinah pada masa itu dihuni oleh
berbagai komunitas yang berbeda, seperti kaum Muslimin, kaum Yahudi (termasuk
Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah), serta suku-suku Arab yang masih
menganut keyakinan tradisional. Kondisi ini menuntut Nabi Muhammad tidak hanya
sebagai seorang rasul yang menyampaikan risalah Islam, tetapi juga sebagai
pemimpin politik dan sosial yang mampu menjaga harmoni di tengah perbedaan.
1.
Penyusunan Piagam Madinah
Penyusunan Piagam Madinah
adalah langkah strategis yang menunjukkan kecakapan Nabi Muhammad SAW dalam
mengelola masyarakat yang majemuk. Dalam dokumen ini, setiap komunitas diberi
hak dan kewajiban yang sama dalam urusan sosial, hukum, dan keamanan. Piagam
ini menggarisbawahi prinsip dasar keberagaman:
a. Kesetaraan
Semua anggota masyarakat
diakui sebagai bagian dari satu kesatuan (ummah), tanpa memandang perbedaan
agama, suku, atau latar belakang sosial. Muslim dan non-Muslim (termasuk Yahudi
dan suku-suku lain) adalah satu umat yang hidup dalam ikatan sosial dan
keamanan bersama. Strategi dakwah Nabi Muhammad SAW terkait dengan persatuan
terletak pada pentingnya membangun hubungan yang harmonis dan penuh pengertian
di antara berbagai kelompok ini. Ayat Al-Qur�an yang menjadi landasan konsep
ini adalah:
يٰٓاَيُّهَا
النَّاسُ اِنَّا
خَلَقْنٰكُمْ
مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى
وَجَعَلْنٰكُمْ
شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ
لِتَعَارَفُوْاۚ
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللّٰهِ
اَتْقٰىكُمْۗ
اِنَّ اللّٰهَ
عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
١٣
"Wahai manusia!
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal." (QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam Piagam Madinah tercatat
bahwa �Kaum Muslimin dan Bani Auf, Bani Harits, Bani Sa�idah, Bani Al-Najjar,
dan semua orang yang terikat dengan kesepakatan ini adalah umat satu sama lain�
(Piagam Madinah).
Nabi Muhammad SAW bersabda
yang terdapat dalam firman-Nya:
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤمِنُونَ
إِخوَةٌ .... ١٠
�Sesungguhnya, orang-orang
beriman itu adalah bersaudara...� (Q.S Al-Hujurat:10)
Strategi dakwah dalam konteks
keberagaman melibatkan pendekatan persatuan. Meskipun masyarakat Madinah
terdiri dari berbagai suku dan agama (Muslim dan non-Muslim), Nabi Muhammad SAW
menyusun masyarakat tersebut menjadi "umat satu" dengan menekankan
nilai persaudaraan (ukhuwah). Dakwah ini tidak hanya pada aspek agama Islam,
tetapi juga pada penguatan rasa kebersamaan yang mengabaikan perbedaan suku
atau agama. Dengan prinsip ini, keberagaman dihormati, tetapi tetap dibangun
rasa persatuan dalam konteks kehidupan bersama di Madinah.
b. Keadilan Sosial
Piagam Madinah menjamin
keadilan bagi seluruh masyarakat Madinah. Ini termasuk memberikan hak yang sama
pada kelompok Muslim dan non-Muslim serta memastikan setiap individu
terlindungi dari penindasan atau ketidakadilan. Strategi dakwah Nabi SAW dalam
hal ini adalah memastikan bahwa pesan Islam bukan hanya terkait dengan ritual
ibadah, tetapi juga mencakup penerapan nilai-nilai keadilan sosial yang menjaga
setiap anggota masyarakat.
Dalam Piagam Madinah,
disebutkan bahwa �Semua orang yang masuk dalam perjanjian ini berhak
mendapatkan perlindungan.�(Piagam Madinah).
Nabi Muhammad SAW bersabda
yang dalam firman-Nya:
.... وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوٰىۖ
وَلَا تَعَاوَنُوْا
عَلَى الْاِثْمِ
وَالْعُدْوَانِۖ.....
٢
�Tolong menolonglah dalam
kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan�
(QS. Al-Maidah: 2).
Nabi Muhammad SAW mendorong penerapan prinsip keadilan sosial dalam
dakwahnya. Keberagaman Madinah bukanlah alasan untuk terjadinya ketidak adilan.
Bahkan, setiap individu dan kelompok memiliki hak yang sama untuk dilindungi
dan dihargai. Dalam hal ini memperlihatkan strategi dakwah Nabi dalam mengelola
masyarakat Madinah, di mana Islam memperkenalkan prinsip keadilan yang
melampaui batasan agama dan memberikan ruang bagi pengembangan hubungan yang
adil antara yang Muslim dan yang non-Muslim.
c. Kebebasan Beragama
Piagam Madinah menjamin hak
setiap individu untuk memeluk dan menjalankan agama mereka, baik itu Islam,
Yahudi, atau agama lainnya, tanpa paksaan. Nabi Muhammad SAW melalui strategi
dakwahnya menekankan kebebasan beragama sebagai bagian integral dari membangun
sebuah masyarakat yang pluralistik dan harmonis. Ayat Al-Qur�an mendukung
prinsip ini:
لَآ اِكْرَاهَ
فِى الدِّيْنِۗ
قَدْ تَّبَيَّنَ
الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّۚ.....٢٥٦
"Tidak ada paksaan dalam
[menganut] agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat." (QS. Al-Baqarah: 256)
Piagam Madinah berbunyi: �Kaum Yahudi Madinah adalah satu umat
bersama kaum Muslimin, bagi mereka agama mereka dan bagi kami agama kami.�
Nabi Muhammad SAW memberi
kebebasan penuh bagi warga Madinah, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk
menjalankan agama mereka sesuai keyakinannya. Strategi dakwahnya berorientasi
pada toleransi beragama yang menghindari pemaksaan, dan justru mengajarkan
kesadaran bahwa keyakinan individu adalah urusan personal. Hal ini tercermin
dalam kebijakan yang adil bagi umat Yahudi dan lainnya, meski dalam banyak
aspek, mereka hidup berdampingan dalam satu kesatuan masyarakat.
d. Kewajiban Membela Keamanan
Bersama
Salah satu poin penting dalam
Piagam Madinah adalah kewajiban untuk menjaga keamanan Madinah bersama, tanpa
memandang agama atau suku. Dalam Piagam ini dijelaskan bahwa jika terjadi
ancaman dari luar, seluruh warga Madinah, baik Muslim maupun non-Muslim, wajib
bersama-sama untuk membela kota ini.
Dalam Piagam Madinah,
dijelaskan: �Jika ada perang atau pertempuran melawan Madinah, maka setiap kelompok
wajib saling membantu dan berperang bersama.�(Piagam Madinah).
Nabi Muhammad SAW bersabda:
الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ
لَا يَظْلِمُهُ
وَلَا يُسْلِمُهُ
�Setiap Muslim harus
mempertahankan dan melindungi sesama Muslim, jika tidak maka ia adalah bukan
orang yang benar-benar beriman.� (HR. Bukhari)
Strategi dakwah dalam hal ini
Nabi Muhammad SAW mendorong agar keberagaman di Madinah tidak menjadi
penghalang dalam membela tanah air. Ketika ancaman datang, semua warga Madinah,
baik yang Muslim maupun non-Muslim, harus bersatu untuk mempertahankan kota
mereka. Dengan ini, dakwah Nabi mengedepankan rasa kebersamaan dalam konteks
perjuangan bersama untuk melindungi komunitas, yang tentunya memupuk rasa
solidaritas di tengah-tengah keberagaman.
2.
Mempersatukan Kaum Muhajirin
dan Anshar
Nabi Muhammad SAW mengambil
langkah progresif dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Makkah dengan
kaum Anshar dari Madinah. Ini bukan hanya untuk menyelesaikan krisis sosial
akibat perpindahan besar-besaran kaum Muslimin, tetapi juga untuk membangun
solidaritas sosial.
Dalam dimensi sosial kaum
Anshar berbagi tempat tinggal, makanan, dan sumber daya dengan kaum Muhajirin.
Tindakan ini bukan hanya menunjukkan kemurahan hati kaum Anshar, tetapi juga
menunjukkan bahwa keadilan sosial menjadi nilai utama dalam membangun harmoni
masyarakat.
Dalam dimensi spiritual
persaudaraan ini menunjukkan bahwa persatuan umat Islam melampaui hubungan
darah atau etnis. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad:
مَثَلُ
الْمُؤْمِنِينَ
فِي تَوَادِّهِمْ،
وَتَعَاطُفِهِمْ،
وَتَرَاحُمِهِمْ،
مَثَلُ الْجَسَدِ،
إِذَا اشْتَكَى
مِنْهُ عُضْوٌ
تَدَاعَى سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ
وَالْحُمَّى
"Perumpamaan kaum
mukminin dalam hal cinta, kasih sayang, dan empati adalah seperti satu tubuh.
Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan
sakitnya." (HR. Muslim)
Strategi ini membuktikan
keberhasilan dalam menciptakan harmoni, sekaligus melindungi mereka yang rentan
terhadap marginalisasi akibat migrasi.
3.
Hubungan Harmonis dengan
Komunitas Non-Muslim
Sebagai pemimpin, Nabi
Muhammad SAW mengakui keberadaan komunitas non-Muslim, seperti suku Yahudi dan
kabilah-kabilah Arab pagan. Hubungan dengan komunitas ini dibangun berdasarkan
kepercayaan dan kerja sama.
Komunitas Yahudi di Madinah
diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya tanpa paksaan. Hadits Nabi
menegaskan hal ini:
من اذى
ذميا فأنا خصمه
ومن كنت خصمه خصمته
يوم القيامة
�"Barang siapa menyakiti seorang dzimmi
(non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam), maka aku akan menjadi
musuhnya pada Hari Kiamat." (HR. Abu Dawud)
Nabi Muhammad SAW menegakkan
hukum yang adil, di mana Muslim dan non-Muslim diperlakukan setara di mata
hukum. Ini memperlihatkan bahwa keberagaman tidak menjadi alasan untuk
mendiskriminasi, tetapi menjadi dasar untuk mewujudkan keadilan.
4.
Penyelesaian Konflik dengan
Diplomasi
Pendekatan Nabi Muhammad SAW
terhadap konflik menunjukkan kualitas kepemimpinan yang sangat unggul.
Misalnya, ketika beberapa suku Yahudi melanggar perjanjian Piagam Madinah, Nabi
menggunakan mediasi untuk menyelesaikan masalah sebelum mengambil langkah
tegas. Firman Allah SWT menjadi prinsip dalam pendekatan damai ini:
وَاِنْ
جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ
فَاجْنَحْ لَهَا
وَتَوَكَّلْ عَلَى
اللّٰهِۗ اِنَّهٗ
هُوَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ٦١
"Dan jika mereka condong
kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada
Allah." (QS. Al-Anfal: 61)
Nabi juga memperlihatkan kebijaksanaan
dalam menyikapi perselisihan di antara kaum Muslimin dan non-Muslim. Pendekatan
berbasis dialog ini menunjukkan komitmen Nabi untuk menciptakan solusi yang
menguntungkan semua pihak, sekaligus mempertahankan stabilitas masyarakat.
5.
Dakwah Melalui Akhlak
Nabi Muhammad SAW menjadikan
dirinya teladan utama dalam berdakwah. Akhlak mulia, seperti kejujuran, kasih
sayang, dan kesabaran, menjadi instrumen dakwah yang paling efektif. Hal ini
sesuai dengan ayat:
وَاِنَّكَ
لَعَلٰى خُلُقٍ
عَظِيْمٍ٤
"Dan sungguh, engkau
(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur." (QS. Al-Qalam: 4).
Banyak orang yang awalnya
menolak Islam tetapi kemudian menjadi pengikut Rasulullah karena terinspirasi
oleh akhlaknya. Contoh terkenal adalah kisah seorang Yahudi tua yang sering
mencaci Nabi, tetapi akhirnya masuk Islam karena melihat kasih sayang dan
perhatian Nabi terhadap dirinya.
6.
Pengelolaan Ekonomi yang Adil
Nabi Muhammad SAW
memperkenalkan sistem zakat, infak, dan sedekah sebagai upaya untuk menciptakan
keadilan ekonomi. Distribusi kekayaan ini tidak hanya ditujukan kepada kaum
Muslim, tetapi juga kepada anggota masyarakat yang membutuhkan, termasuk
non-Muslim. Strategi ini menciptakan stabilitas sosial dan mengurangi konflik
akibat ketimpangan ekonomi.
Ayat Al-Qur�an yang mendukung
sistem ini adalah:
وَفِيْٓ
اَمْوَالِهِمْ
حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ
وَالْمَحْرُوْمِ
١٩
"dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan yang tidak mendapatkan
bagian." (QS. Adz-Dzariyat: 19).
7.
Peran Masjid Nabawi sebagai
Pusat Sosial dan Spiritual
Masjid Nabawi tidak hanya
menjadi tempat ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan, diskusi
politik, dan kegiatan sosial. Di tempat ini, Nabi Muhammad SAW mengajarkan
pentingnya toleransi, kesatuan, dan gotong royong dalam kehidupan
bermasyarakat. Fungsi masjid sebagai ruang inklusif membantu menciptakan rasa
persatuan di antara komunitas yang berbeda latar belakangnya.
Melalui berbagai langkah
tersebut, Nabi Muhammad SAW berhasil menciptakan stabilitas, keadilan, dan
harmoni di Madinah, menjadikannya model ideal pengelolaan masyarakat
pluralistik yang relevan hingga saat ini. Strategi ini memperlihatkan bahwa
keberagaman dapat menjadi kekuatan yang mendukung persatuan jika dikelola
dengan bijak, adil, dan penuh kasih sayang.
8.
Membangun Sistem Hukum yang
Adil untuk Semua Warga
Salah satu bagian dari
strategi dakwah Nabi Muhammad SAW yang sangat signifikan dalam mengelola
keberagaman komunitas di Madinah adalah sistem hukum yang adil dan tidak
pandang bulu. Nabi Muhammad memimpin dengan prinsip keadilan yang teguh. Salah
satu contoh implementasinya dapat dilihat dalam penegakan hukum pidana terhadap
siapa pun yang melanggar peraturan, baik dari kalangan Muslim maupun
non-Muslim.
Dalam hal ini, Nabi SAW mendirikan
hukum syariat Islam yang berlaku untuk umat Muslim, tetapi hukum ini juga
memberikan perlindungan yang setara bagi non-Muslim yang hidup di bawah
perlindungan negara Islam. Suku-suku Yahudi dan Arab yang menjadi warga Madinah
tidak diperlakukan diskriminatif dalam hal keadilan, meskipun mereka tidak
mengikuti ajaran Islam. Misalnya, pada suatu waktu, seorang wanita dari suku
Makhzum yang dikenal kaya dan terhormat, tetapi mencuri, diberlakukan hukum
pidana tanpa pandang bulu, meskipun hal ini awalnya sempat menimbulkan
perdebatan besar di kalangan kaum Quraisy. Namun, Nabi Muhammad tetap
menegakkan hukum dengan tegas. Firman Allah SWT berikut menjadi dasar hukum
ini:
اِنَّ
اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ
اَنْ تُؤَدُّوا
الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى
اَهْلِهَاۙ وَاِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ
النَّاسِ اَنْ
تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ.....
٥٨
�Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.�
(Q.S An-Nisa�: 58)
Nabi Muhammad SAW juga
menegakkan hak-hak individu dalam masyarakat, tidak hanya hak umat Islam,
tetapi juga bagi non-Muslim. Dengan demikian, hukum yang diterapkan bukanlah
hukum yang hanya menguntungkan satu kelompok, tetapi sistem yang adil bagi
semua pihak, serta menjamin hak warga negara tanpa terkecuali.
9.
Penyebaran Islam Melalui
Dakwah Rahmatan Lil-Alamin
Salah satu prinsip utama yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan dakwahnya adalah konsep
rahmat (kasih sayang) terhadap seluruh alam. Secara substansial, dakwah beliau
adalah dakwah yang mengedepankan kedamaian dan toleransi. Sebagai contoh, dalam
surat Al-A'raf, Allah berfirman:
وَمَآ
اَرْسَلْنٰكَ
اِلَّا رَحْمَةً
لِّلْعٰلَمِيْنَ١٠٧
"Dan Kami tidak mengutus
kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS.
Al-Anbiya�: 107)
Kehadiran Nabi Muhammad
sebagai pembawa wahyu mengajarkan bahwa agama bukanlah alat untuk memecah
belah, melainkan untuk menyatukan umat manusia dalam keadilan dan kebaikan
bersama. Perilaku Nabi yang penuh kasih sayang menjadi dasar kuat bagi
pengikutnya dalam berinteraksi dengan sesama, baik di dalam lingkungan umat
Islam maupun di luar mereka. Dengan kata lain, pengelolaan keberagaman di
Madinah mencerminkan prinsip dakwah Nabi yang menekankan kepada umat untuk
memanifestasikan kasih sayang kepada semua makhluk, termasuk yang berbeda
keyakinan dan latar belakang budaya.
Banyak masyarakat yang tidak
memeluk Islam pada awalnya kemudian masuk Islam setelah menyaksikan betapa Nabi
Muhammad memperlakukan mereka dengan adil dan penuh penghormatan. Kasih sayang
dan kelembutan hati Nabi menjadi saluran dakwah yang efektif, yang dapat
merangkul hati orang-orang tanpa memaksakan mereka untuk menerima agama ini.
10.
Menerima Keberagaman dan Menghormati
Adat Istiadat Lokal
Nabi Muhammad SAW menunjukkan
bahwa dalam menjalankan dakwah dan mengelola keberagaman, penting untuk menjaga
keseimbangan antara tradisi budaya dan prinsip-prinsip agama. Dalam hal ini,
beliau tidak pernah mengabaikan adat-istiadat yang baik yang berlaku di
masyarakat Madinah, meskipun ia datang dengan ajaran yang berbeda.
Misalnya, praktik-praktik baik
yang ada di Madinah, seperti kebiasaan saling membantu antarpenduduk dalam
menghadapi musuh, tidak dipaksakan untuk ditinggalkan, selama adat tersebut
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan, Nabi Muhammad SAW menghormati
tradisi kaum Ansar yang berkaitan dengan adat sosial mereka, termasuk dalam
urusan harta benda dan bantuan antar sesama. Ketika terdapat hubungan antara
Islam dan masyarakat lain seperti suku Quraisy, Nabi selalu bersikap bijaksana
untuk tetap menghormati kondisi sosial dan politik lokal. Dalam piagam Madinah,
Nabi menegaskan pentingnya menjaga kehormatan berbagai suku tanpa merusak
kerukunan.
11.
Masjid Nabawi sebagai Pusat
Toleransi dan Inklusivitas Sosial
Masjid Nabawi berfungsi tidak
hanya sebagai tempat ibadah bagi umat Islam, tetapi juga sebagai pusat
komunikasi sosial dan perdamaian untuk semua elemen masyarakat Madinah. Nabi
Muhammad SAW memperkenalkan masjid sebagai pusat dari kehidupan sosial yang
inklusif. Di sini, umat Islam dan non-Muslim dapat bertemu, berdiskusi, dan
berbicara secara terbuka mengenai berbagai masalah yang ada di tengah
masyarakat tanpa batasan agama.
Keberadaan masjid sebagai
ruang publik menunjukkan bahwa di Madinah, masyarakat dapat berdialog dan
saling mengenal, serta bekerja sama meski berbeda agama atau suku. Nabi SAW
menggunakan masjid sebagai titik temu untuk menyampaikan pesan perdamaian dan
toleransi sosial, serta tempat bagi mereka yang membutuhkan bantuan sosial,
pendidikan, ataupun layanan terkait kehidupan sehari-hari.
Salah satu contohnya adalah
hubungan yang terjalin dengan penduduk Yahudi yang menjalani kehidupan sosial
mereka di dalam masyarakat Madinah. Nabi Muhammad SAW melakukan beberapa
pertemuan di masjid untuk berbicara dengan mereka mengenai hubungan antarumat
manusia dan bagaimana mereka bisa hidup bersama dalam kesejahteraan. Ini
menegaskan bahwa Masjid Nabawi adalah sebuah lembaga pendidikan dan ruang
publik untuk semua elemen masyarakat, bukan hanya untuk umat Muslim.
12.
Pendidikan dan Penyuluhan
untuk Membangun Kewarganegaraan yang Sehat
Nabi Muhammad SAW sangat
memperhatikan aspek pendidikan dalam masyarakat Madinah, tidak hanya untuk umat
Islam, tetapi juga untuk non-Muslim. Beliau mengajarkan pentingnya pengetahuan
dan pemahaman yang bisa membentuk karakter dan hubungan yang harmonis di antara
anggota masyarakat. Melalui majelis-majelis ilmu di Masjid Nabawi, Nabi SAW
menyampaikan ajaran Islam dan juga prinsip-prinsip dasar kewarganegaraan yang
bisa menguatkan persatuan dalam keberagaman.
Membangun kesadaran di
kalangan umat Islam dan masyarakat Madinah tentang pentingnya memperlakukan
sesama dengan penuh rasa hormat dan kewajiban untuk menjaga kedamaian adalah
strategi yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Dengan pendidikan ini,
masyarakat Madinah diharapkan dapat memanfaatkan kebebasan yang ada untuk
berinteraksi satu sama lain, sementara menghargai perbedaan mereka.
KESIMPULAN
A. Ghani, S. H. (2020). Membongkar Misteri Gerakan Sosial
Islam (Studi Analisis Visi, Misi dan Fenomenologis Komunitas Jamaah Tabligh). Jurnal
Indo-Islamika, 6(1). https://doi.org/10.15408/idi.v6i1.14795
Achmad Zulfikar Ramadhanu dan Ibnu Hajar. (2023). Strategi
Dakwah di Tengah Keberagaman Masyarakat Indonesia. UIN Alauddin Makassar.
Ahyuni, A. (2019). Konteks Hijrah Nabi Muhammad Saw Dari
Mekkah Ke Madinah Melalui Dakwah Individual Ke Penguatan Masyarakat. Mamba�ul
�Ulum, 15(2). https://doi.org/10.54090/mu.18
Amin, A. M. (2021). Pembangunan Kesatuan Dogma Dan Politik
Dalam Piagam Madinah. Jurnal Keislaman, 1(1).
https://doi.org/10.54298/jk.v1i1.3347
Awaludin, Z., & Hasim, W. (2019). Strategi Transformasi
Sosial Nabi Muhammad Saw Dalam Piagam Madinah (619-622 M). Jurnal Yaqzhan:
Analisis Filsafat, Agama Dan Kemanusiaan, 5(1).
https://doi.org/10.24235/jy.v5i1.4521
Fajriah, N. (2019). Kerukunan Umat Beragama: Relevansi Pasal
25 Piagam Madinah dan Pasal 29 UUD 1945. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, 21(2). https://doi.org/10.22373/substantia.v21i2.5525
Ganjar, R., & Ayundasari, L. (2021). Perang Badar:
Runtuhnya hegemoni Mekkah dengan berdirinya Madinah sebagai pusat peradaban
Islam tahun 624 M. Jurnal Integrasi Dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial
(JIHI3S), 1(7). https://doi.org/10.17977/um063v1i7p880-886
Husin, G. I. (2018). Pemikiran Tentang Sistem Dan Kelembagaan
Pendidikan Islam Di Masa Rasulullah Pada Periode Mekkah Dan Periode Madinah. Al
Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan.
https://doi.org/10.35931/aq.v0i0.11
Jailani, I. A. (2016). Piagam Madinah: Landasan Filosofis
Konstitusi Negara Demokratis. Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam,
6(2).
Khashogi, L. R. (2012). Konsep Ummah dalam Piagam Madinah. Jurnal
Agama Dan Hak Azazi Manusia, 2(1).
Khoerunnisa, E. (2017). Relevansi Strategi Dakwah Hizbut
Tahrir Indonesia Dengan Strategi Dakwah Nabi Muhammad Saw. Komunika: Jurnal
Dakwah Dan Komunikasi, 9(2). https://doi.org/10.24090/komunika.v9i2.847
Muslim, N. (2018). Isu negara Islam, sekular kembali
dibahaskan. In Berita Harian Online.
Nurfadillah, E. P., & Novela, Y. (2022). Learning and
Learning Islamic Cultural History. JPT: Jurnal Pendidikan Tematik, 3(3).
Nurmaidah, N. (2021). Strategi Dakwah Dan Pendidikan Nabi
Muhammad Saw. Journal Of Alifbata: Journal of Basic Education (JBE), 1(1).
https://doi.org/10.51700/alifbata.v1i1.360
Rahim, A. (2019). Sistem dan Kelembagaan Pendidikan Islam
Periode Madinah. DARUL ULUM: Jurnal Ilmiah Keagamaan, Pendidikan Dan
Kemasyarakatan, 10(1).
|
� 2025 by the authors. Submitted for possible open access publication
under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/). |